Banjarmasin, radiosmartfm.com – Bermodalkan sedikit informasi dari internet mengenai perumahan bersubsidi yang pembiayaannya difasilitasi oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI), saya pun langsung menuju satu alamat di Kelurahan Sungai Lulut Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan (Kalsel). Namanya Komplek Graha Sejahtera yang secara kebetulan berlokasi cukup dekat dari tempat tinggal saya di Kota Banjarmasin, yakni berjarak sekitar 10 Kilometer.
Sesampainya di sana, saya langsung tertarik dengan aktivitas anak-anak di halaman rumah tipe 36 yang berada di ujung blok A1 perumahan tersebut. Dalam hati, jika ada anak-anak, kemungkinan ada orang tuanya di dalam rumah. Ternyata benar, ada seorang perempuan pakai hijab syar’i yang diketahui bernama Norlaila, keluar dari balik pintu rumah berwarna hijau daun yang telah lusuh dimakan waktu.
Setelah mengenalkan diri dan sedikit berbasa-basi, saya langsung menanyakan kepada yang bersangkutan terkait perjalanannya memiliki rumah melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BRI.
Norlaila (39 tahun) menceritakan pengalamannya bersama suami telah banyak merasakan pahit manis kehidupan, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan papan. Kepada Sonora.ID, Norlaila yang merupakan tenaga pengajar di sebuah sekolah swasta di Kota Banjarmasin itu menceritakan pengalamannya merasakan gonta-ganti hunian tapak di Kota Seribu Sungai (julukan kota Banjarmasin).
Menurut pengakuannya, setelah menikah di tahun 2011, Ia telah merasakan 10 kali pindah kontrakan. Bahkan, salah satunya berujung dengan pengusiran secara halus, karena sang keluarga pemilik juga tertarik menempati kontrakannya.
Perempuan peraih titel sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri bercorak Islam di kota Banjarmasin itu mengaku sering pindah-pindah kontarakan karena ingin mencari tempat tinggal yang layak dengan sewa yang murah. Namun, keinginannya itu berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Di mana kontrakan yang ia tempati kala itu sangat jauh dari kata layak.
“Lantainya sudah lapuk, sangat tidak layak dan kondisinya juga tidak sehat. Ya wajar sih karena sesuai dengan uang sewanya yang terbilang cukup murah per bulan,” beber Norlaila saat dikonfirmasi, pada Kamis (20/3).
Didorong rasa ingin menempati tempat tinggal yang lebih manusiawi, Norlaila bersama suami memutuskan untuk menyewa kontrakan yang lebih baik. Namun, karena tarifnya yang cukup tinggi, ia hanya mampu bertahan beberapa bulan saja di hunian tersebut.
“Memang sih nyaman tempatnya tapi harga sewanya sangat mahal,” ucap ibu 3 anak itu.
Seiring peningkatan taraf ekonomi, ia pun akhirnya memutuskan untuk membeli rumah bersubsidi di awal tahun 2017 melalui pembiayaan KPR. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mengunjungi ekspo perumahan yang diselenggarakan asosiasi pengusaha real estate setempat di salah satu pusat perbelanjaan di Banjarmasin.
“Pada pameran itu kami tertarik dengan desain rumah yang ditawarkan pengembang dan akhirnya membayar uang pendaftaran sebesar Rp250 ribu. Tapi setelah kami melihat rumah contoh, suami saya memutuskan untuk tidak melanjutkannya karena ternyata kualitas pondasinya buruk. Tidak apa-apa uang pendaftaran hangus dari pada menyesal seumur hidup,” ungkap Norlaila menirukan kata-kata suami.
Pencarian Norlaila dan suami akan perumahan bersubsidi yang layak akhirnya berakhir dengan ditemukannya pengembang di Kabupaten Banjar yang lebih mementingkan kualitas dibanding tampilan luar. Kekuatan pondasi rumah menjadi rujukannya dalam memutuskan hunian yang akan dipilih.
“Pilihan kami akhirnya di komplek ini, tidak apa-apa desainnya kurang menarik tapi di sini pondasinya kuat. Di Banjarmasin dan sekitarnya ini rata-rata perumahannya di atas lahan rawa, jadi pondasi rumah harus diperhatikan. Alhamdulillah di sini tanahnya lumayan luas yaitu 120 meter persegi, masih ada tanah luas disamping rumah lagi,” sambung Norlaila.
Saya pun menanyakan kepada Norlaila terkaitnya alasannya memilih BRI sebagai bank penyalur KPR. Sebelum akad jual beli rumah pada Agustus 2017, ia mengaku ditawarkan 2 bank BUMN yang akan membiayai kredit rumahnya. Ia pun dengan mantap memilih BRI, karena kantornya ada hingga di tingkat kecamatan.
“Waktu itu kami ditawari BRI dan BNI, kami putuskan BRI karena enak kantornya ada sampai kecamatan. Sewaktu-waktu pas kami pulang kampung mudah saja kalau mau setoran ke bank untuk angsuran rumah,” jelas Norlaila lagi.
Dengan tenor 15 tahun, ia mengalokasikan uang sebesar Rp1 juta setiap bulan. Tidak terasa menurut Laila cicilan rumahnya sudah memasuki tahun ke-8, dan sekitar 7 tahun lagi akan lunas.
“Alhamdulillah kami sudah punya rumah sendiri dan sangat layak untuk ditempati, ini sudah jalan 8 tahun,” bebernya lagi.
Seakan mengamini pernyataan Norlaila, Pemimpin Cabang BRI Martapura, Subkhan Efendi pada berita sebelumnya menjelaskan, dari pada menyewa kontrakan yang dibayar setiap bulan, lebih baik menyicil rumah yang pada akhirnya akan menjadi hak milik sendiri.
“Dari pada ngontrak kan, KPR ini jangka waktunya bisa sampai 20 tahun,” terang Subkhan.
Dijelaskan Subkhan, dengan cicilan Rp800 ribu per bulan selama 20 tahun, masyarakat sudah dapat memiliki rumah tipe 36 dengan luas tanah 120 hingga 140 meter per segi.
“Harga rumah tipe 36 sekarang itu kan Rp170 juta sampai Rp182 juta, dengan cicilan lebih kurang Rp800 ribu masyarakat sudah dapat memilikinya,” imbuh Subkhan.
Subkhan menegaskan, angsuran dan suku bunga yang ditawarkan tetap 5 persen sampai lunas. Artinya, masyarakat tidak perlu khawatir akan adanya perubahan angsuran di tengah jalan.
“Kami jamin angsuran dan bunganya tetap sampai lunas, sisanya kan disubsidi pemerintah,” janjinya.
Ditambahkan Subkhan, pihaknya telah menandatangani nota kesepahaman dengan 66 pengembang yang menjadi mitra dalam menyediakan rumah bersubsidi bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Hal itu untuk mendukung program 3 juta rumah yang dicanangkan Presiden RI, Prabowo Subianto.
“Kita dukung sepenuhnya program 3 juta rumah yang dicanangkan bapak presiden,” tandas Subkhan