Cukai MBDK Memilik Banyak Potensi Positif, Namun Batal Terealisasi

18 Juni 2025 17:26 WIB
Ilsutrasi minuman kemasan
Ilsutrasi minuman kemasan ( freepik.com )

Radiosmartfm.com - Pemerintah kembali menggagalkan implementasi cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Meski kebijakan tersebut sudah mencuat dari tahun 2016, serta disebut-sebut akan resmi diberlakukan pada 2024, namun sampai saat ini kebijakan tersebut tidak kunjung direalisasikan.

Alasan pembatalan kebijakan tersebut tidak dijelaskan, namun yang pasti penerapan cukai MBDK memiliki banyak potensi positif, di antaranya peningkatan pendapatan pajak Indonesia, dan juga dianggap mampu meningkatkan kesehatan masyarakat karena bisa menekan konsumsi gula berlebih. 

Dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Juni 2025, Djaka Budhi Utama selaku Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu telah menyatakan bahwa cukai MBDK yang semula ditargetkan pemerintah akan berlaku di Semester II 2025 resmi batal.

“Terkait dengan pemberlakuan MBDK sampai terapkan, mungkin rencana sampai tahun 2025 sementara tidak akan diterapkan mungkin kedepannya akan diterapkan," ujarnya (17/6/2025)

Baca Juga: ALCo Kalsel : Kanwil DJP Kalselteng Rilis Capaian Pajak Hingga Coretax

Meskipun target penerimaan pajak dari cukai MBDK dianggap tergolong kecil jika dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan secara keseluruhan yakni sebesar Rp3,8 triliun, namun pembatalan implementasi berikut telah menghilangkan beberapa potensi positif bagi negara diantaranya sebagai berikut.

Penerimaan kepabeanan dan cukai menjadi berkurang

Pengajuan rencana implementasi cukai MBDK pada awalnya didasari dengan harapan bisa mengoptimalisasi pendapatan negara. Misalnya, potensi penerimaan cukai pada MBDK bisa mencapai Rp79 miliar hingga Rp3,95 triliun dengan besaran cukai sebesar Rp1,000 sampai Rp5.000 per liter. 

Sementara itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 juga menyebutkan potensi penerimaan negara pada tahun pertama pelaksanaan cukai MBDK akan mencapai sebesar Rp3,8 triliun.

Namun potensi tersebut harus sirna karena batalnya penerapan cukai MBDK tahun ini serta sumber penerimaan baru juga tidak jadi terbuka. Mengenai hal tersebut Djaka Budhi Utama menyatakan bahwa pihaknya akan berusaha memacu sumber kepabeanan, dan cukai yang lebih besar guna menutupi sumber penerimaan yang hilang.

Baca Juga: Realisasi Penerimaan Pajak Sulut Pada Bulan Oktober 2024 Capai 315,948 Miliar di Dominasi Oleh PPh,PPN dan PPnBM

“Bagaimana akan menutupi? Tentunya dengan komponen-komponen penerimaan yang dibebankan ke bea dan cukai. Saya mohon doa dari awak media agar bea dan cukai bisa memenuhi target yang ditetapkan," ucap Djaka (17/6/2025).

Konsumsi Gula di Masyarakat Sulit Dikendalikan

Salah satu penyebab meningkatnya penyakit tidak menular (PTM) seperti penyakit kardiovaskular, obesitas, dan diabetes di masyarakat adalah karena konsumsi gula yang berlebih. Maka dari itu implementasi cukai MBDK bisa menjadi upaya untuk menekan konsumsi gula tambahan di masyarakat.

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sesenas), terjadi lonjakan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan sejak 1996 yang semula 24 juta liter menjadi 405 juta liter di tahun 2024. Data lain juga menyebutkan adanya peningkatan konsumsi gula masyarakat Indonesia antara 1992 sampai 2020 sebanyak 40 persen.

Dengan kebijakan ini, seharusnya bisa menjadi langkah awal pemerintah untuk mengendalikan konsumsi gula tambahan di masyarakat. Hal ini juga disampaikan oleh Akbar Harfianto selaki Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengenai tujuan utama penerapan cukai MBDK.

Baca Juga: Bea Cukai Dukung Penuh Eksportir Lokal Hingga Tembus Pasar Internasional

“Kebijakan ini bukan semata-mata demi optimalisasi penerimaan negara. Prioritas utamanya adalah melindungi kesehatan masyarakat dengan mengendalikan konsumsi gula tambahan,” ujar Akbar dalam media briefing di Jakarta, Jumat (10/1/2025). 

Melemahkan potensi untuk menciptakan industri yang lebih sehat

Penerapan cukai MBDK tidak hanya mampu mengendalikan konsumsi namun juga berpotensi mengendalikan produksi. Dengan adanya kebijakan tersebut, pemerintah dapat mendorong industri untuk menghasilkan produk-produk yang lebih sehat sehingga harapannya kesehatan masyarakat akan meningkat dampak dari konsumsi gula yang berkurang.

Namun memang harus diakui, kebijakan ini memiliki risiko yang tinggi karena inflasi, dan daya beli masyarakat akan terdampak.

PenulisTesa Dabur
95.9 fm
97.8 fm