Makassar, smartFM - Pegiat anti korupsi menilai pemerintahan Prabowo Subianto membawa angin segar serta harapan untuk menuntaskan penghambat pembangunan Indonesia yaitu korupsi.
Karena itu, Hari Anti Korupsi Internasional, 9 Desember pun menjadi momentum tepat bagi akademisi pegiat anti korupsi di Indonesia untuk segera mendukung program pemberantasan korupsi yang diprogramkan oleh Presiden Prabowo.
Demikian disampaikan Bastian Lubis, salah satu akademisi pegiat anti korupsi yang juga Rektor Universitas Patria Artha.
Menurutnya, gebrakan-gebrakan Presiden Prabowo lebih nyata dan konkrit. Seperti diprosesnya korupsi PT Timah, perkebunan sawit dan tambang batu bara yang menyebabkan terjadinya kerugian negara cukup signifikan.
"Lunak dan longgarnya pengawasan dari internal auditor/itjen maupun oleh eksternal BPK dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan setiap tahunnya seperti yang kita lihat saat ini," ujar Bastian kepada wartawan di Makassar, baru-baru ini.
Tak hanya itu, kata Bastian, obral Opini WTP yang pada akhirnya terjadi suap menyuap. Dengan kata lain, opini WTP hanya modus agar bisa memperoleh Dana Insentif Daerah yang berasai dari Kementrian Keuangan.
"Harusnya kalau laporan keuangan sudah mendapat Opini WTP bisa terhindar dari adanya temuan kerugian negara/daerah," ucapnya.
Menurut Bastian, hingga saat ini masih banyak pejabat yang didelegasikan memegang atau mengelola pengelolaan keuangan justru tidak paham tentang tugas pokok dan fungsinya. Sebagai contoh, masih banyak jabatan-jabatan Eselon I kosong diisi dengan Plt Eselon Il saja.
Baca Juga: KPK RI Panggil Ketua DPRD Kalsel Sebagai Saksi Kasus di Dinas PUPR
"Padahal seharusnya yang mengisi Jabatan Eselon ll yang kosong harus dari Eselon ll juga. Dengan begitu, dapat menghemat tunjangan karena tidak ada penambahan anggaran untuk pejabat tersebut," imbuhnya.
Dilain pihak, masih adanya sebagian kecil oknum-oknum penegak hukum APH yang melakukan praktek-praktek tercela dengan memanfaatkan kelemahan administrasi di bawa ke ranah pidana. Itu diduga sebagai alat tawar menawar untuk negosiasi mencari keuntungan pribadi oknum tersebut.
"Ini masih banyak terjadi sehingga menyebabkan terjadinya mefesiensi dalam pelaksanaan kegiatan, bahkan menjadi
hambatan dalam birokrasi," pungkas Bastian.